Memang seperti itulah dakwah.
Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan
meminta semuanya dari dirimu.
Sampai pikiranmu..
Sampai perhatianmu...
Berjalan, duduk, dan tidurmu..
Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah.
Tentang umat yg kau
cintai..
Lagi-lagi memang seperti itu.
Dakwah.
Menyedot saripati energimu.
Sampai tulang belulangmu.
Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh
rentamu.
Tubuh yg luluh lantak diseret-seret..
Tubuh yang hancur lebur dipaksa
berlari..
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah.
Beliau memang
akan tua juga.
Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan
Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz.
Dia memimpin hanya
sebentar.
Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung.
Tidak ada lagi orang miskin
yg bisa diberi sedekah.
Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja.
Tubuh yang segar
bugar itu sampai rontok.
Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal.
Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga
terlihat tercabik-cabik.
Kepalanya sampai botak.
Umar yang perkasa pun akhirnya
membawa tongkat ke mana-mana.
Kurang heroik?
Akhirnya diperjelas dengan salah
satu luka paling legendaris sepanjang sejarah;
luka ditikamnya seorang Khalifah
yang sholih,
yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah bukannya tidak melelahkan.
Bukannya tidak membosankan.
Dakwah bukannya tidak menyakitkan.
Bahkan juga para pejuang risalah
bukannya sepi dari godaan kefuturan.
Tidak…
Justru kelelahan.
Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka
sepanjang hidupnya.
Setiap hari.
Satu kisah heroik,
akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang
jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani…
justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi…
akhirnya menjadi adaptasi.
Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur,
pada akhirnya salah satunya harus mengalah.
Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman.
Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit.
Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka.
Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad
yang begitu cantik.
Begitupun Umar.
Saat Rasulullah wafat, ia histeris.
Saat Abu Bakar
wafat, ia tidak lagi mengamuk.
Bukannya tidak cinta pada abu Bakar.
Tapi saking
seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran.
Dan menjadi semacam
tonik bagi iman..
Karena itu kamu tahu.
Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya
adalah anak kemarin sore.
Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu.
Karena
mereka jarang disakiti di jalan Allah.
Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar.
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka
rasakan, mereka merasa menjadi orang besar.
Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya
Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang…
“
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak.
Jasadnya dikoyak
beban dakwah.
Tapi iman di hatinya memancarkan cinta…
Mengajak kita untuk terus
berlari…
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
by (alm) Ust. Rahmat Abdullah